politickamisao.com – How It Ends: Saat Dunia Runtuh, Pilihan Tak Bisa Netral Dalam banyak kisah soal kehancuran dunia, selalu ada satu titik di mana manusia berhenti jadi netral. Saat semuanya porak-poranda, ketika aturan tak lagi berlaku, dan logika sudah tak dipakai, satu hal tetap berdiri: pilihan. Film How It Ends membawa penonton ke ranah penuh ketidakpastian, di mana keputusan lebih ke soal insting, bukan lagi rencana.
Bukan sekadar kisah orang yang panik, tapi tentang bagaimana seseorang tetap berdiri ketika semua ambruk. Maka, pilihan tak bisa cuma “nanti saja”, apalagi sekadar “lihat dulu”. Dunia keburu habis.
Ketika Langit Gelap, Pikiran Harus Terang
Saat bumi mulai retak dan suara ledakan seperti jadi latar belakang sehari-hari, semua orang dipaksa cepat mikir. Will, karakter utama, langsung tancap gas. Bukan karena dia pahlawan, tapi karena kekasihnya hilang kontak. Dari situlah, perjalanan gila dimulai.
Di tengah kekacauan, gak ada lagi tempat aman. Bahkan bensin jadi rebutan, jalan tol jadi ajang saling tikam, dan wajah ramah bisa berubah tajam. Tapi Will tetap nekat. Kenapa? Karena berhenti berarti kehilangan, dan kehilangan terlalu mahal buat diterima begitu saja.
Perjalanan yang Nggak Sekadar Jauh, Tapi Juga Dalam
Will bareng ayah mertuanya, Tom, yang awalnya kelihatan dingin kayak es batu. Tapi makin jauh mereka melaju, makin kelihatan kalau semua orang punya batas sabar. Hubungan yang dulu renggang dipaksa menyatu karena keadaan.
Mereka bukan cuma ngejar tujuan, tapi juga nyari arti. Tom yang keras kepala, pelan-pelan mulai lumer. Sementara Will yang awalnya ragu, tumbuh jadi seseorang yang lebih nekat, bahkan brutal. Dunia yang rusak bikin mereka gak bisa lagi jadi versi lama dari diri sendiri. Mau gak mau, semua harus berubah.
Tak Ada Pahlawan Murni di Tengah Debu
Dalam film ini, gak ada sosok ala Superman yang lompat sana-sini sambil nyelametin semua orang. Sebaliknya, yang ada justru manusia biasa dengan emosi naik turun. Ada rasa takut, amarah, dan kadang rasa bersalah. Tapi yang jelas, mereka gak bisa diem aja.
Momen demi momen bikin penonton sadar, bahwa kebaikan itu bukan soal niat manis, tapi soal keputusan di saat semua pilihan terasa salah. Will harus milih: ngebantu orang lain tapi nyasar, atau fokus nyari tunangannya dan ninggalin yang lain. Gak ada jawaban yang enak, tapi dunia juga gak lagi sopan.
Dunia Bisa Hancur, Tapi Hati Masih Bisa Nyalakan Api
Meskipun penuh abu dan ledakan, film ini bukan cuma soal kiamat. Justru di balik kekacauan, terselip rasa sayang, cinta yang keras kepala, dan hubungan yang terus ditempa. Ketika semua terancam runtuh, Will tetap nyari kekasihnya dengan cara paling kasar sekaligus paling tulus.
Rasa kehilangan jadi tenaga utama. Bahkan lebih kuat dari rasa takut. Dan itu yang bikin perjalanan Will terasa bukan cuma untuk bertahan hidup, tapi juga untuk tetap merasa hidup. Karena kadang, satu-satunya hal yang bisa bikin manusia tetap waras di dunia gila adalah rasa rindu.
Kesimpulan
How It Ends bukan film yang menjanjikan jawaban pasti. Gak ada narasi yang menyuapi penonton dengan penjelasan lengkap. Justru karena itu, film ini terasa lebih nyata. Dunia memang kadang hancur tanpa peringatan. Tapi saat itu terjadi, satu hal yang pasti: kita harus memilih.
Netral bukan pilihan, karena waktu gak nunggu. Dunia terus berputar, meski retak. Dan ketika pilihan datang, tinggal dua opsi: ikut runtuh, atau tetap berdiri meski kaki gemetar. Will memilih berdiri. Dan mungkin, itu yang bikin dia tetap manusia di tengah dunia yang mulai lupa caranya hidup.